Mahasiswa

Kampus adalah tempat dimana para kaum cerdik-cendekia berkumpul, mengadakan risert atas disiplin ilmu yang mereka tekuni. Sejarwan meneliti dan melacak setiap informasi masa lalu; fisikawan menghitung waktu yang digunakan untuk sebuah pesawat mengitari bumi, dan bermimpi bisa menciptakan benda secepat cahaya; psikolog menghabiskan waktunya mendalami karakter individu, berharap bisa membantu memecahkan setiap masalah psikologis; sosiolog bergelut dan terjun langsung ke masyarakat, memahami setiap fenomena dan perilaku yang ada; setiap profesor sibuk dengan masalah yang mereka cari-cari sendiri, bahkan (terkadang) mereka ciptakan sendiri.

Saat ini, Shardi sedang duduk di sebuah kantin di salah satu kampus di Malang. Kantin itu sejuk, karena banyak pohon-pohon di depannya. Gazebo-gazebo tertata rapi sedemikian rupa. Menambah kenikmatan seduhan kopi. Iya, Shardi sedang ngobrol dengan temannya, sambil minum kopi dan menghisap rokok. 

"Aku heran dengan diriku sendiri," kata Shardi "ada ribuan buku di perpustakaan kampus. Mulai dari buku sejarah (entah itu sejarah lokal, nasional, maupun internasional), sosiologi, psikologi, kewarganegaraan, keagamaan, politik, kebudayaan, kesenian, matematika dan ilmu alam, maupun buku-buku karya sastra (puisi, esay, cerpen, dan novel), tapi sayang, waktuku sangat kurang. Aku kehabisan waktu untuk membaca mereka, karena harus disibukkan dengan tugas, organisasi, dan kegiatan pondok." lanjutnya panjang lebar.

"Itu adalah konsekuensi jadi mahasiswa. Kamu harus bisa membagi waktu. Jika tidak, waktulah yang akan menelanmu." kata Sananil.

Sananil adalah anak kampung asli Malang. Dia tidak kuliah, namun dia sering datang ke kampus untuk sekedar membaca buku. Setiap malam dia membantu ibunya mengurus warung kopi. Dia memiliki 3 adik, yang semuanya masih dalam masa belajar. Sananil terpaksa harus berhenti sekolah sejak SMP, sejak ayahnya meninggalkan dirinya dan keluarganya untuk selamanya. Namun Sananil tetap tegar menjalani hidupnya.

"Hai, Nil. Aku mau bertanya padamu." kata Shardi. Dia ingin mengalihkan topik pembahasan.

"Iya, tanya apa?"

"Kalau kamu dapat kesempatan untuk kuliah, kira-kira mau apa tidak?"

"Tidak!"

"Lho, kenapa tidak? Bukankah kamu dulu sangat ingin menjadi mahasiswa?"

"Iya, tapi setelah aku memahami arti kehidupan dan mengamati para mahasiswa, aku berubah pikiran."

"Emangnya, apa yang kau tahu tentang arti kehidupan? Dan apa hasil pengamatanmu terhadap mahasiswa?" Shardi penasaran dengan pernyataan Sananil. Sangat langka dia menemukan pemuda yang tidak mau kuliah. Tapi kini dia menemukannya.

"Yang jelas, aku tidak bisa menjelaskan semuanya padamu. Karena kamu sendiri adalah seorang mahasiswa. Yang penting, saranku, kerjakan semua tugasmu dan jadilah mahasiswa yang cerdas. Mahasiswa yang cerdas adalah mereka yang bisa selesai 7 semester, tapi yang lebih cerdas lagi adalah mereka yang men-DO-kan diri karena sudah tahu: apa itu kampus, dan apa itu kuliah." 

Shardi bingung. Akhirnya percakapan itu berganti topik, hingga kopi mereka habis.

Sebenarnya Sananil ingin mengatakan bahwa dirinya sangat ingin kuliah. Namun, dia tahu diri. Dia tak mau merepotkan sahabatnya untuk ikut memikirkan masalah pribadinya. Dia terpaksa harus mengatakan kebohongan. Predikat mahasiswa itu selamanya akan menjadi mimpi bagi Sananil. Dan dia akan memberikannya kepada adik-adiknya. Setiap malam dia berdo'a agar adik-adiknya bisa lebih beruntung dari dirinya.

Comments

Popular posts from this blog

Anime Sub Indonesia Semakin Berkembang Pesat Tiap Tahun

Korupsi dengan Berbagai Wajahnya

Ngopi Bersama Teman yang Pelit