Para Pemimpin Negeriku
"Manusia diciptakan oleh Tuhan tidak untuk melakukan apa pun kecuali ibadah," kata Markijo. "Jadi jangan sampai sedetikpun dalam hidup kita, tidak bernilai ibadah." lanjutnya.
"Lho, emangnya ada yang bisa melakukan hal seperti itu, Jo?" sahut Najri, "Kalaupun ada, pasti, ya, hanya wali."
Markijo dan Najri adalah dua orang gelandangan yang tak punya rumah. Mereka berdua juga tak punya keluarga, entah gimana sejarahnya. Kini dia hidup dijalanan, dengan membawa beberapa pakaian yang mereka bungkus di dalam sarung. Di pagi yang segar ini, mereka sedang leyeh-leyeh di bawah pohon besar nan rindang di alun-alun Nganjuk, sambil menikmati kopi.
"Ah, ya, jelas tidaklah, Jri. Semua orang bisa melakukan hal seperti itu, tidak harus jadi wali terlebih dahulu." kata Markijo.
"Lantas, kau sendiri gimana, Jo? Apa kau bisa melakukan hal itu?" protes Najri.
"Dalam sudut pandangku, aku sudah berusaha melakukan hal itu secara penuh. Dan aku yakin, dalam setiap detik dalam hidupku, telah bernilai ibadah."
"Tapi, sekarangkan kamu sedang tidak ibadah?"
"Ha ha ha. Maaf, ya, Jri? Sekarang aku tanya dulu kepadamu, apa yang kau ketahui tetang ibadah?"
"Ya, ibadah itu seperti dzikir, shalat, puasa, zakat, sedekah, ziarah, dsb. Pokoknya yang membuat kita mengingat Allah. Benar, 'kan?"
"Benar banget. Tapi sebenarnya bukan hanya itu, inti dari sebuah perilaku disebut ibadah atau tidak adalah tergantung pada niatnya, dan hatinya." kata Markijo.
"Maksudnya?" Nazjri agak ganjil dengan pernyataan Markijo.
"Ya, apa pun saja hal positif yang tidak merugikan siapapun bisa kita niati ibadah. Miasalnya: senyum kepada orang lain, bekerja, bersosial dengan masyarakaat, jalan-jalan sambil mengagumi ciptaan-Nya, atau kalau mahasiswa, ya, kuliah, ngerjakan tugas, demonstrasi untuk memperbaiki negara, dan pejabat pemerintah, ya, bekerja dalam rangka mengabdi kepada negara, mengabdi untuk kepentingan rakyat, bahkan kita (maaf) be-ol pun juga bisa bernilai ibadah." jawab Markijo panjang lebar.
Percakapan mereka terus berlangsung sedemikian lembut. Tak ada beban dalam diri mereka kecuali ibadah kepada Allah. Dunia sudah terlihat sangat kecil bagi mereka. Apa pun masalah keduniawian yang mereka hadapi, sebesar apapun itu, mereka selalu bisa menjadi lebih besar daripada masalah besar itu sendiri. Kepribadiannya tertata begitu baik, sejak mereka memutuskan menjadi gelandangan. Semakin jauh mereka melangkah, semakin meningkat pula wawasan, iman, dan ketaqwaan mereka.
"Yang sangat aku prihatinkan ialah ketika para pemimpin negeriku tidak pernah benar-benar beribadah dalam setiap ibadahnya, sehingga negaraku tak pernah selesai masalah-masalahnya, bahkan semakin runyam." kata Markijo, entah bicara kepada siapa, karena sahabatnya sudah tertidur pulas.[]
"Lho, emangnya ada yang bisa melakukan hal seperti itu, Jo?" sahut Najri, "Kalaupun ada, pasti, ya, hanya wali."
Markijo dan Najri adalah dua orang gelandangan yang tak punya rumah. Mereka berdua juga tak punya keluarga, entah gimana sejarahnya. Kini dia hidup dijalanan, dengan membawa beberapa pakaian yang mereka bungkus di dalam sarung. Di pagi yang segar ini, mereka sedang leyeh-leyeh di bawah pohon besar nan rindang di alun-alun Nganjuk, sambil menikmati kopi.
"Ah, ya, jelas tidaklah, Jri. Semua orang bisa melakukan hal seperti itu, tidak harus jadi wali terlebih dahulu." kata Markijo.
"Lantas, kau sendiri gimana, Jo? Apa kau bisa melakukan hal itu?" protes Najri.
"Dalam sudut pandangku, aku sudah berusaha melakukan hal itu secara penuh. Dan aku yakin, dalam setiap detik dalam hidupku, telah bernilai ibadah."
"Tapi, sekarangkan kamu sedang tidak ibadah?"
"Ha ha ha. Maaf, ya, Jri? Sekarang aku tanya dulu kepadamu, apa yang kau ketahui tetang ibadah?"
"Ya, ibadah itu seperti dzikir, shalat, puasa, zakat, sedekah, ziarah, dsb. Pokoknya yang membuat kita mengingat Allah. Benar, 'kan?"
"Benar banget. Tapi sebenarnya bukan hanya itu, inti dari sebuah perilaku disebut ibadah atau tidak adalah tergantung pada niatnya, dan hatinya." kata Markijo.
"Maksudnya?" Nazjri agak ganjil dengan pernyataan Markijo.
"Ya, apa pun saja hal positif yang tidak merugikan siapapun bisa kita niati ibadah. Miasalnya: senyum kepada orang lain, bekerja, bersosial dengan masyarakaat, jalan-jalan sambil mengagumi ciptaan-Nya, atau kalau mahasiswa, ya, kuliah, ngerjakan tugas, demonstrasi untuk memperbaiki negara, dan pejabat pemerintah, ya, bekerja dalam rangka mengabdi kepada negara, mengabdi untuk kepentingan rakyat, bahkan kita (maaf) be-ol pun juga bisa bernilai ibadah." jawab Markijo panjang lebar.
Percakapan mereka terus berlangsung sedemikian lembut. Tak ada beban dalam diri mereka kecuali ibadah kepada Allah. Dunia sudah terlihat sangat kecil bagi mereka. Apa pun masalah keduniawian yang mereka hadapi, sebesar apapun itu, mereka selalu bisa menjadi lebih besar daripada masalah besar itu sendiri. Kepribadiannya tertata begitu baik, sejak mereka memutuskan menjadi gelandangan. Semakin jauh mereka melangkah, semakin meningkat pula wawasan, iman, dan ketaqwaan mereka.
"Yang sangat aku prihatinkan ialah ketika para pemimpin negeriku tidak pernah benar-benar beribadah dalam setiap ibadahnya, sehingga negaraku tak pernah selesai masalah-masalahnya, bahkan semakin runyam." kata Markijo, entah bicara kepada siapa, karena sahabatnya sudah tertidur pulas.[]
Comments
Post a Comment