Negara Disorientasi, Dislokasi, dan Disidentifikasi


Zaiden sedang menikmati kopinya. Iya, kopi hitam kental yang diracik oleh seorang pemuda, lebih tepatnya penjual kopi. Dia ada di warung kopi. Entah nama warungnya apa, sepertinya 'Stereo'. Iya, tidak salah lagi. Nama warung itu ialah Stereo. Sebuah warung kopi yang dimiliki oleh salah satu santri Pondok Gading yang berada di sebelah selatan Pasar Buku Wilis, Malang. Dan, Zaiden menyeruput kopinya dengan penuh kenikmatan.

"Apakah Tuhan itu ada?," kata Zaiden kepada temannya, Nuriden, "Dan apa pentingnya Tuhan bagi manusia?" lanjutnya.

Nuriden diam sejenak. Dia menatap mata Zaiden, kaget dan heran.

"Astaghfirullah, Zaiden. Kau meragukan ke-Ada-an Tuhan?" jawab Nuriden, "Kenapa kau bertanya seperti itu. Seperti orang atheis aja?"

"Bukan itu maksudku. Apakah Tuhan itu ada dalam setiap pikiran para wakil rakyat, menteri, tokoh partai politik, bahkan presiden di negara kita ini? Dan saya menangkap gejala bahwa menurut mereka Tuhan itu tak penting-penting amat, asalkan mereka dapat jabatan, popularitas, dan harta. Tapi apakah mereka benar-benar berpikir seperti itu?" Zaiden berkata panjang lebar.

Zaiden saat ini sedang hidup di sebuah negara yang berantakan. Negara yang mengalami disorientasi, dislokasi, dan disidentifikasi. Segala hal yang ada di negara itu telah mengalami kerusakan yang amat sangat parah. Iya, semua hal. Mulai dari undang-undangnya yang hanya berpihak pada golongan tertentu dan tidak ada peluang yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyatnya; sistem pemerintahannya tidak bisa membedakan mana lembaga negara dan mana lembaga pemeintah, mana pejabat negara dan mana pejabat pemerintah, mana kepala negara dan mana kepala pemerintah, mana pemilik uang kas negara dan pemilik uang kas pemerintah; rakyat diartikan sebagai jongos padahal rakyatlah yang menggaji para pejabat negara; setiap musim pemilu masyarakat selalu dibodohi dan dibohongi dengan pencitraan-pencitraan dan money politik yang terstruktur dengan rapi; kurikulum pendidikan tidak bisa melahirkan para pemikir-pemikir yang kritis atas setiap kebijakan pemerintah, barang siapa yang mengkritisi pemerintah dianggap makar; rakyat dijejali kata mutiara yang berbunyi "jangan bertanya apa yang sudah diberikan negara kepadamu, tapi bertanyalah apa yang sudah kau berikan kepada negara" sehingga rakyat dibuat sibuk dengan urusannya sendiri sampai tidak sempat mengenali presidennya, menterinya, DPRnya, KPKnya, dsb. dll. Negara itu bernama Nusanjaya yang terletak di garis katulistiwa.

"Yang namanya manusia pasti bisa khilaf, Zaiden." kata Nuriden

"Iya, tapi itu tidak berlaku jia kekhilafan itu sampai dilakukan berulang kali dan malah ia nikmati." bantah Zaiden

"Iya, ya. Ha.ha. Udahlah, kita nikmati saja kopi ini. Mumpung masih hangat."

Begitulah percakapan Zaiden berlangsung. Zaiden ialah anak desa yang sedang merantau ke kota yang kota tersebut juga merupakan ibu kota dari negaranya. Zaiden sering melihat para pejabat negaranya berseliweran ke sana - kemari, namun Zaiden tak tahu apa yang mereka lakukan, mungkin besok atau lusa.[]

Comments

Popular posts from this blog

Anime Sub Indonesia Semakin Berkembang Pesat Tiap Tahun

PAC IPNU - IPPNU Ngronggot selalu menjadi PAC terbaik di Kab. Nganjuk

Menjadi Alumni MA Al Khidmah Ngronggot Yang Bisa Dibanggakan